Bersyukurnya
Aku Menjadi Anak Desa
Dan itu semua adalah suatu karunia Illahi, yang tentunya harus kita terima dan disyukurinya pula, tinggal kita sebagai manusia bagaimana untuk menyikapinya, siap atau tidak atas semua pemberian karunia itu, karena menurut agama itu semuanya hanyalah sebagai cobaan hidup.
Aku dilahirkan disuatu Dusun (wilayah diantara nama Desa) yang masih termasuk bagian wilayah Kabupaten Klaten, daerah yang cukup subur, lahannya lebih cocok untuk pertanian dari bercocok tanam padi, palawija, sampai sayur mayur, masyarakatnya terdiri dari petani, buruh, pedagang, dan bahkan ada diantaranya yang berprofesi sebagai Guru/Pendidik (pegawai pemerintah).
Orangtuaku
adalah pekerja sebagai buruh (tukang kayu),
aku adalah diantara empat bersaudara semua laki-laki, kakak yang nomor dua telah
menghadap Sang Khaliq meninggalkan kami, aku dilahirkan kembar, dan kembaranku
pula telah dipanggil Sang Khaliq sejak umur berjalan satu tahun, sehingga aku
tidak sempat melihat atau tahu wajah kembaranku itu, orangtuaku dari
penghasilan sebagai pekerja buruh hanya cukup untuk biaya sehari-hari, itupun
terkadang kurang, mengingat pada saat itu tenaga buruh sebagai tukang jarang
dibutuhkan. Sehingga orangtuaku beralih sebagai buruh serabutan demi
kelangsungan hidup sekeluarga. Bahkan Simbok (ibu) sempat berdagang sayuran guna membantu meringankan Bapak,
namun oleh Bapak dilarang kasihan katanya, karena berdagang sayuran dengan
penghasilannya tidak seberapa nanti capek malah sakit dan justru merepotkan,
betapa tidak dari rumah kepasar cukup jauh dengan selalu berjalan kaki
menggendong dagangannya. Saat itu aku sempat berpikir, jika aku bisa aku akan
bantu kedua orangtuaku namun karena aku masih kecil hanya cuma merasa kasihan.
Aku bersyukur dimasa itu dalam keadaan istilah paceklik pangan, aku sekeluarga
tetap diberikan sehat meskipun bahan pokok makanan utama nasi terkadang tidak
selalu beras, karena kurang mampunya daya beli saat itu. Bagi masyarakat
setempat nama bulgur, mie atau singkong dibuat leye (tiwul) menjadi bahan pokok konsumsi sehari-hari.
Aku dan kakakku
adalah anak yang berbakti selalu penurut dan tidak pernah membantah kepada
orangtua, dan meskipun tidak khatam al-Qur’an orangtuaku selalu mengingatkan
aku dan kakakku untuk belajar mengaji di Masjid (meskipun jauh). Kakakku mengenyam pendidikan hanya sekolah dasar (sd) sebenarnya kakakku pintar dan
memiliki kepandaian lebih terutama di bidang seni (lukisan) terbukti membuat wayang jawa dari kertas karton maupun
kulit cukup bagus dan lukisan kaca untuk pintu atau jendela, sehingga menjadi
profesi lukis di kampungnya dan mendapat imbalan meskipun tidak banyak. Kakakku
sudah berkeluarga dikaruniai satu anak perempuan dan telah berkeluarga, dan
kehidupan sehari-hari sebagai petani dikampungnya.
Akupun sekolah
sama seperti kakakku yang hanya lulus sd, ingin sekali ke tingkat lanjutan
namun keberadaan orangtuaku yang hidup pas-pasan sehingga tidak mungkin
keinginannya dikabulkan, bahkan Simbok (ibu)
dengan lirih mengatakan, “Tut sing sabar
yoo … aku ngerti kekarepane kowe, kepingin sinau sing luwih, nanging Bapak lan
Simbok hura biso ngragati sekolahmu. . . .” kemudian Simbok menangis dan
mendekapku mengusap kepala dengan penuh kasih sayang. Dan aku menjawab, “ Simbok . . . aku hura popo, aku ngerti … simbok
ojo nangis . . .” airmataku menetes penuh keharuan.
Dan sampailah
aku dititipkan di Panti Asuhan (tempat di lain kota) agar aku tetap bisa
bersekolah tanpa biaya dari orangtuaku, terbayang aku bisa melanjutkan ke
Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (smep/
setingkat sltp). Namun ternyata untuk
penerimaan siswa di sekolah tersebut sudah terisi penuh, sehingga aku
didaftarkan diterima di sekolah Sekolah Teknik Negeri (stn) di kota tersebut.
*** nama tempat sekolah tersebut sekarang telah
diganti (sltp/smk)
Aku sebenarnya
termasuk anak yang patuh terhadap orang tua tekun serta cukup cerdas dan pandai
di sekolah, terlihat dari hasil nilai raport maupun ijazah sekolah dasar yang
aku miliki, dengan nilai raport diatas rata-rata dan ternyata aku termasuk
ranking lima besar, sebenarnya aku berkeinginan melanjutkan sekolah di bidang
ekonomi, dengan harapan kelak usai lulus bisa bekerja di instansi perkantoran
swasta atau pemerintah, terbukti dari hasil nilai semester pertama di sekolah
teknik ternyata aku masih memiliki nilai baik. Namun kembali bahwa karena
kurang cocoknya menuntut ilmu ditempat sekolah tersebut terpaksa aku keluar
bersekolah.
Setelah keluar
dari sekolah aku mencari pekerjaan dan mendapat di suatu perusahaan makanan
milik orang cina di kota Magelang, ternyata bekerja ditempat milik orang cina
tersebut sangatlah dirasakan berat, bangun jam empat pagi selesai hingga jam
enam sore, baru aku menyadari bahwa bekerja hanya mengandalkan tenaga tanpa
ditunjang atau tidak memiliki persyaratan pendidikan formal jauh akan
mendapatkan pekerjaan yang diinginkan, berbeda apabila memiliki ijazah yang
merupakan persyaratan utama dalam melamar pekerjaan, akan menjadikan kemudahan
dalam memperoleh pekerjaan yang layak, (itulah
pentingnya ilmu di awali dengan bersekolah).
Namun ibarat
nasi telah menjadi bubur yang tidak akan mungkin sesuatu yang telah terjadi,
akan bisa terulang kembali, bahkan saat itu aku sempat menyesali kekeliruan
atas egonya diriku dengan sekolah yang dianggap tidak cocok, hingga airmatalah
yang keluar dipelupuk menangis sedih, apalagi setelah tiga tahun kemudian,
dengan melihat teman-teman yang mampu melanjutkan ke jenjang sekolah menengah
tingkat pertama (sltp) maupun teman
siswa eks sekolah teknik saat kelulusan dengan riangnya bersorak saling
memberikan ucapan, tambah teriris rasanya hati ini.
Terlebih lagi
teringat saat waktu masih berada di salah satu Panti Asuhan di kota yang dulu
aku berada dan memang disitulah aku mendapat hikmah makna kehidupan, ditambah
bahwa aku memang termasuk kategori keluarga kurang mampu sehingga orangtua
untuk menyekolahkan aku saja harus dititipkan ke Panti Asuhan, meskipun dengan
ketidak cocoknya aku bersekolah.
Aku merantau di
kota besar sejak keluar dari sekolah teknik negeri waktu itu masih kelas satu,
mengingat saat itu Aku tidak cocok dengan nama sekolah yang siswanya semuanya
laki-laki. Sehingga kuputuskan untuk keluar dan tidak bersekolah, dalam benak
lebih baik pergi merantau meskipun jauh sekaligus mencari pekerjaan, hingga
sampailah aku sekarang berada di kota Bekasi. Dan aku sudah berkeluarga serta
dikaruniai dua anak laki-laki semuanya sudah bekerja.
Dalam setiap
akan pulang kampung halaman tempat aku dilahirkan, pulang selalu melewati jalan
dimana awal aku pernah bersekolah, tempat panti asuhan, dan tempat-tempat yang
pernah aku singgahi, terbesit bayangan masa lalu yang penuh kenangan, bayangan
dimana masa-masa kecilku yang menjadikan airmata ini selalu menetes menangis.
Baik itu kawan, sahabat, tempat bermain, tempat sekolah, panti asuhan, dan
dimana aku dibesarkan hingga remaja yang menjadikan semuanya teringat, justru
membuatku semakin keharuan yang mendalam.
Kenangan yang
tak pernah aku lupakan, disuatu pulang kampung dari perantauan tempat aku
mencari nafkah untuk tujuan selain ke orangtua yang utama aku kunjungi (waktu beliau masih hidup) juga adalah
sahabat teman karibku, dan kemudian keluarga famili lainnya. Kenapa musti
sahabat teman karib yang termasuk prioritas untuk ketemu, dialah sahabat karib
juga teman diwaktu sekolah dasar yang selalu memberikan dorongan moril dan
motivasi, selalu konsisten dengan ucapannya. sekarang sahabatku sudah
berkeluarga dengan satu isteri yang cantik dan dikaruniai dua putri, satu
putra, serta kehidupannya berkecukupan meskipun hanya menjadi petani
dikampungnya.
Subhanalloh
Allahu Akbar….!!!
Memang aku
sadari bahwa hidup manusia telah diatur oleh Sang Maha Pencipta/Maha Kehendak (Allah SWT), namun sebagai manusia harus
selalu tetap berusaha ikhtiar selain do’a yang menjadi utama, dan selalu ingat
adalah pesan Orangtua dan Bapak, Ibu Guru, yang tidak akan mungkin aku lupakan;
Selalu Berdo’a, Niat, Selalu berusaha, Jangan sombong, Selalu merendah bertutur
kata, Memberikan/berbagi sesuatu (ilmu,
pengalaman, dan bersedekah sebagian dari rejekinya) untuk bermanfaat bagi
orang lain, dan selalu melaksanakan kewajiban (agama) sebagai umat melalui tuntunannya.
Robbigh firli waliwali dayya warhamhuma kama robbayani shoghiro
“Ya
Allah ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan kasihanilah mereka berdua
sebagaiaman mereka telah mendidikku diwaktu kecil”
Klaten, Muharram 1394 H.
(deles indah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar